Jalan 204: Saksi Bisu Tragedi Mina yang Mengguncang Dunia
Mina, 24 September 2015 — Pagi yang seharusnya dipenuhi kekhusyukan ibadah berubah menjadi mimpi buruk. Di persimpangan Jalan 204 dan 223, Mina, Arab Saudi, ribuan jemaah haji terjebak dalam salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam dalam sejarah perjalanan haji modern.
Hari itu adalah hari ketiga ibadah haji, tepat pada pagi Idul Adha. Jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul untuk melaksanakan jumrah—perlambang merajam setan—di Jembatan Jamarat. Tak ada yang menyangka, ritual sakral ini akan berakhir dengan tumpukan jenazah yang membuat dunia terhenyak.
Ketika Dua Arus Bertabrakan di Ruang Terbuka
Peristiwa dimulai sekitar pukul 9 pagi waktu Arab Saudi di persimpangan Jalan 204 dan Jalan 223. Berbeda dengan Tragedi Terowongan Mina 1990 yang terjadi di ruang tertutup yang pengap, musibah kali ini justru berlangsung di persimpangan jalan terbuka. Namun, ruang terbuka tak cukup menyelamatkan ribuan nyawa yang terjebak dalam apa yang para ahli sebut sebagai crowd crush—tabrakan arus manusia yang mematikan.
Ratusan ribu jemaah mengalir melalui gang-gang sempit, bergabung dalam kelompok yang lebih besar di jalan-jalan samping, lalu menyatu dalam arus utama menuju Jembatan Jamarat. Di saat yang sama, gelombang jemaah yang sudah selesai melontar jumrah bergerak ke arah berlawanan, hendak kembali ke tenda-tenda mereka di Mina.
Ada laporan bahwa sekelompok jemaah tiba-tiba berhenti di Jalan 204, sementara arus jemaah yang menuju pelontaran terus mengalir deras dari belakang. Tanpa ruang untuk menghindar, ribuan tubuh saling berdesakan dalam hitungan detik. Gelombang tekanan yang bergejolak bahkan mengangkat orang dari tanah, terkadang membawa mereka lebih dari 3 meter.
Kontroversi Penyebab: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Hingga kini, penyebab pasti tragedi ini masih menjadi perdebatan sengit, terutama antara Arab Saudi sebagai penyelenggara dan negara-negara lain yang kehilangan warganya.
Menurut koresponden Al Arabiya di Mina, sekelompok jemaah dalam bus diizinkan turun ke jalan menuju Jembatan Jamarat pada waktu yang tidak dialokasikan untuk mereka. Ketika mereka mendekati area tersebut, mereka bertemu dengan kelompok yang sudah ada di sana, menyebabkan area melebihi kapasitas.
Pagi itu seharusnya jadwal untuk jemaah dari Mesir dan Afrika, namun dari negara lain seperti Iran, Pakistan, India, dan Indonesia yang tidak terjadwal juga ikut melontar jumrah di waktu yang dianggap lebih afdhal.
Ada juga kesaksian yang menyebutkan ketua rombongan yang seharusnya berpengetahuan dan berpengalaman justru mengajak jamaahnya melontar di luar jadwal yang telah ditetapkan. Padahal jadwal tersebut dibuat bukan tanpa alasan—area pelontaran Mina memang tidak cukup luas untuk menampung jutaan orang dalam waktu bersamaan.
Panasnya Matahari yang Mencekik Napas
Jika tabrakan arus manusia adalah pemicunya, maka suhu ekstrem adalah pemperparah yang fatal. Suhu hari itu melonjak hingga lebih dari 43 derajat Celsius (110 Fahrenheit). Di tengah kerumunan masif tanpa celah untuk bernapas, panasnya seperti menghisap nyawa terakhir.
Seorang jurnalis yang meliput langsung mengaku, "Saya keluar hanya beberapa jam untuk mengambil foto dan merekam. Hanya dua jam berdiri di bawah matahari sudah membuat sangat pusing dan hampir pingsan".
Bayangkan kondisi jemaah yang terjebak di tengah kerumunan, dengan suhu yang membakar dan tanpa ruang untuk bergerak. Penyebab utama kematian dalam kerumunan seperti ini adalah sesak napas—orang bisa terjepit begitu erat sehingga mereka mati lemas sambil berdiri.
Banyak jemaah yang kolaps karena heatstroke dan dehidrasi. Ketika satu orang jatuh, memicu efek domino—puluhan, bahkan ratusan orang ikut terseret. Di beberapa tempat, korban menumpuk hingga setinggi 10 orang.
Kisah Mencari di Lautan Jenazah
Di balik angka-angka korban, ada kisah-kisah yang menghancurkan hati. Seorang pemuda bernama Irtaza menghabiskan waktu berhari-hari menjelajahi mayat-mayat yang berjejer di jalan, menarik kain dari wajah para korban, setiap kali berharap itu adalah wajah ibunya.
Pamannya yang datang belakangan menggambarkan pemandangan mengerikan: sekitar enam atau tujuh truk bermuatan mayat diparkir di luar kamar mayat, darah menetes dari truk dan merembes ke pintu kamar mayat.
Rashid Siddiqui, warga AS yang selamat dari tragedi itu, berhasil lolos dalam keadaan tanpa alas kaki, bertelanjang dada, dan linglung. Namun, saudara ipar dan istrinya tidak seberuntung itu. Keduanya meninggal, meninggalkan dua anak kecil.
Bersambung...